Birokrasi kita sedang terjebak dalam fase stagnasi. Mesin pemerintahan ibarat mobil yang sedang diinjak kopling, gigi netral, dan berhenti di persimpangan jalan. Tidak ada akselerasi, tidak ada gairah, karena para birokrat lebih sibuk menunggu rotasi kabinet baru ketimbang bekerja untuk rakyat. Fenomena ini bukan sekadar tanda kelesuan, melainkan cermin rapuhnya mental birokrasi yang terlalu mengutamakan jabatan daripada pengabdian.
Anggaran yang seret terserap sepanjang 2025 bukan hanya soal teknis. Memang benar, APBD induk tidak sepenuhnya selaras dengan visi-misi bupati terpilih, tetapi kelambanan itu tidak bisa dijadikan pembenaran. Wajar bila ada penyesuaian melalui P-APBD, tetapi yang tidak wajar adalah sikap birokrasi yang justru melonggarkan kinerjanya. Anggaran rendah terserap bukan karena ketiadaan program, melainkan karena birokrat lebih sibuk memikirkan posisi, keselamatan jabatan, hingga melobi sana-sini. Yang lebih berbahaya justru sikap birokrat yang sengaja “melambat” karena menunggu kepastian posisi. Pekerjaan terbengkalai, target pembangunan terbengkalai, sementara masyarakat menanggung akibatnya.
Jika mental birokrat masih seperti ini, maka setiap rotasi hanya akan menjadi panggung transaksi jabatan, bukan momentum akselerasi. Selama ini, bupati dan wakil bupati bisa turun ke lapangan, blusukan, bahkan berperan layaknya entrepreneur pembangunan. Ironisnya, para pejabat birokrasi justru kalah trengginas. Mereka sibuk menjaga kursi, melobi, dan mencari celah keselamatan pribadi.
Era gaya lama birokrasi seperti pungli, adigang, adigung, adiguna harus segera ditutup. Kabinet baru Patenang 2025 tidak boleh memberi ruang pada birokrat dengan mental “penunggu rotasi”. Tidak ada lagi alasan untuk menunda kinerja, tidak ada lagi pembenaran bagi serapan anggaran rendah. Jika birokrasi tidak segera berubah, maka kebijakan strategis bupati-wakil bupati hanya akan tersendat di level implementasi.
Birokrat harus mengerti, loyalitas tertinggi bukan pada jabatan, melainkan pada amanah pembangunan daerah. Bukan keselamatan posisi yang harus dijaga, melainkan keselamatan kepentingan rakyat. Jika rotasi kabinet baru benar-benar bebas dari “bandrol jabatan”, maka ini adalah kesempatan terakhir bagi birokrasi untuk membuktikan diri sebagai punggawa pembangunan, bukan sekadar penikmat kekuasaan.
Dan bila momentum ini masih disia-siakan, maka publik berhak menyimpulkan. birokrasi kita bukan hanya stagnan, tetapi juga mandul. Mandul ide, mandul inovasi, dan mandul keberanian. Sejarah tidak akan mencatat siapa yang berhasil melobi jabatan, tetapi siapa yang benar-benar bekerja untuk rakyat.
By: Rizki Pristiwanto