PBB P2 Melejit, Rakyat Menjerit: Jalan Tengah Membangun PAD yang Pro Poor

Suar_co
Sabtu, 16 Agustus 2025 | 10:43 WIB Last Updated 2025-08-16T03:43:38Z
Di tengah fenomena berbagai daerah berlomba-lomba mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai parameter keberhasilan tata kelola pemerintahan, terdapat empat komponen utama sumber PAD, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan/atau pendapatan lainnya.

Kondisi ekonomi saat ini yang belum pulih sebaiknya menghindari beban pajak langsung kepada rakyat, seperti kenaikan NJOP yang berakibat naiknya pajak PBB-P2. Hal ini otomatis akan berpengaruh pada PPh dan BPHTB ketika pemilik tanah terpaksa menjual dengan harga murah akibat kebutuhan mendesak. Sementara itu, appraisal daerah mengklaim harga patokan pajak (taxaxi/pagu harga) tinggi, sehingga mengundang reaksi publik karena tidak sesuai dengan harga jual sesungguhnya. Akibatnya, banyak transaksi antara penjual dan pembeli gagal terlaksana.

Fenomena melejitnya pajak PBB perkotaan maupun pedesaan, seperti di Kabupaten Pati, Banyuwangi, Jombang, dan lainnya, menjadi kebijakan yang tidak populis, jauh dari prinsip pro poor, serta menunjukkan kurangnya sense of crisis dan empati terhadap masyarakat kecil.

Akan lebih baik dan bijak jika pemerintah daerah mengejar PAD dari pengelolaan aset daerah atau dengan mendongkrak retribusi daerah melalui maksimalisasi dan digitalisasi pajak retribusi, misalnya dari hotel, restoran, parkir, sewa aset daerah, maupun pajak tambang. Selain itu, perlu upaya serius mendorong investasi daerah yang prospektif dan menekan kebocoran pungutan retribusi yang selama ini dimainkan oleh oknum “mafia pajak”.

Sebagai contoh, Kota Cirebon pada tahun 2025 menghadapi dilema akibat keluhan warganya setelah PBB-P2 melonjak tajam. Hal ini merupakan dampak kebijakan petahana tahun 2024 yang menaikkan PBB-P2 hingga 1000%. Dengan lugas dan bijak, Wali Kota terpilih dalam Pilkada 2025, Efendi Edo, menyatakan akan menurunkan PBB-P2 pada tahun 2026.

Sementara itu, Kabupaten Situbondo cukup kreatif. Di tengah maraknya kenaikan PBB-P2, pemerintah justru memberikan diskon 25% hingga 50%, meski diskon hanya berlaku untuk tunggakan pajak PBB-P2 tahun 1994–2019. Adapun untuk tahun 2020–2025 belum disentuh, mengingat adanya kesamaan dengan Kota Cirebon, di mana petahana Bung Karna sempat menaikkan PBB-P2 antara 300% hingga 900% saat menjabat.

Semoga saja Bupati Yusuf Rio Wahyu Prayogo, sang “Ultramen” yang fenomenal dan dicintai masyarakat Situbondo, selain telah memberikan insentif berupa diskon tunggakan pajak PBB-P2 dan meringankan beban wajib pajak, juga dapat mengevaluasi kembali besaran PBB-P2 yang naik drastis pada masa Bupati Bung Karna. Polemik tersebut sempat menjadi isu hangat saat Pilkada. Harapannya, kebijakan penurunan PBB-P2 dapat direalisasikan pada tahun 2026.

Penulis: Eko Kintoko Kusumo
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • PBB P2 Melejit, Rakyat Menjerit: Jalan Tengah Membangun PAD yang Pro Poor

Trending Now

Iklan

iklan