Program “diskon” Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diumumkan Pemerintah Kabupaten Situbondo sekilas tampak manis, mirip promo di pusat perbelanjaan. Namun, jika ditelisik lebih dalam, diskon tersebut hanya berlaku untuk tunggakan pajak lama, yakni periode 1994-2019. Artinya, warga yang taat membayar PBB setiap tahun tetap menanggung beban kenaikan tarif yang melonjak drastis hingga 400-900 persen pada tahun pajak 2020-2025.
Memang, kebijakan kenaikan PBB hingga 900% di masa pemerintahan Bung Karna. Pertanyaannya, setelah ganti rezim, apakah ada kebijakan pajak yang meringankan Situbondo. Mengembalikan ke tarif awal, misalnya. Seperti pernah disampaikan dalam janji kampanyenya.
Sepertinya tidak. Karena program diskon jika dikaji lebih jauh, terkesan agar hanya menambah pemasukan bukan meringankan. Sebab jika meringankan, pastilah diskon ini berlaku pada tahun berjalan. Maka yang terjadi, rakyat Situbondo berbondong-bondong memilih untuk tidak membayar pajak. Mereka pikir kan tidak ada sanksi hukumnya juga.
Kenaikan PBB ini pada dasarnya merupakan jalan pintas pemerintah daerah dalam mendulang Pendapatan Asli Daerah (PAD). Alih-alih mencari terobosan baru dan inovasi, pilihan menaikkan PBB adalah cara paling cepat, mudah, sekaligus paling menyakitkan bagi masyarakat.
Situbondo kini menampilkan wajah daerah yang miskin imajinasi fiskal, lebih memilih menekan rakyat ketimbang mengelola potensi daerah secara serius.
Padahal, di luar sektor PBB-P2, banyak peluang pengembangan PAD yang bisa digarap. Pemerintah dapat memperkuat peran BUMD di sektor strategis: air bersih, energi, pariwisata lokal, parkir, hingga optimalisasi aset daerah yang selama ini mangkrak. Melalui skema kerja sama pemanfaatan maupun KPBU, peluang untuk mendorong kemandirian fiskal sangat terbuka lebar.
Kesalahan fatal pemerintahan selama ini adalah membiarkan kebocoran pajak dan retribusi daerah, mematikan pariwisata, bahkan menutup dua BUMD (Pasir Putih dan Banongan), serta terlalu sibuk dengan proyek infrastruktur ketimbang program berkelanjutan. Akibatnya, sumber PAD melemah, dan solusi instan berupa kenaikan PBB dipilih sebagai “penambal defisit fiskal.”
Menaikkan PBB hingga 900 persen bukan hanya memberatkan, tetapi juga menunjukkan kegagalan visi pembangunan daerah. Diskon pajak ala mall tidak akan menutupi fakta bahwa Situbondo sedang mengalami krisis inovasi fiskal. Rakyat kembali menjadi korban dari tata kelola keuangan yang malas, tidak kreatif, dan jauh dari prinsip keadilan.
Akhirnya rakyat akan kembali bertanya. Akankah Mas Rio akan menepati janjinya mengembalikan tarif PBB ke tarif semula? Atau itu hanya retorika janji kampanye yang mudah diucapkan tapi sulit ditepati?
Saya termasuk yang percaya, Mas Rio Ultraman Kita semua, tak kera congoco.
Penulis: Rizki Pristiwanto