Indonesia adalah negara besar dengan kekayaan sumber daya manusia yang melimpah. Dari aspek keilmuan hingga pengalaman di bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya, bangsa ini tidak kekurangan sosok yang kompeten. Namun, belakangan muncul fenomena yang mencederai prinsip meritokrasi dan akuntabilitas publik: rangkap jabatan pejabat negara, seolah negeri ini kehabisan orang layak.
Yang menjadi sorotan publik saat ini adalah wakil menteri (wamen) yang merangkap sebagai komisaris atau direksi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Praktik ini menuai polemik dan kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama karena dinilai bertentangan dengan semangat tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Konflik Kepentingan dan Beban Ganda
Secara fungsi, wamen adalah pembantu presiden dalam mengoordinasi dan mengawasi pelaksanaan tugas kementerian. Di sisi lain, jabatan komisaris BUMN menuntut independensi dan objektivitas dalam mengawasi jalannya perusahaan. Bila dua peran ini disatukan, maka risiko konflik kepentingan menjadi tak terhindarkan.
Rangkap jabatan juga berarti beban kerja berlipat. Hal ini dapat berdampak pada penurunan kualitas pelayanan publik dan pengambilan kebijakan yang tidak optimal. Ditambah lagi, pejabat yang merangkap jabatan menerima penghasilan dari dua sumber keuangan negara, menimbulkan pertanyaan etika, moral, dan keadilan sosial di tengah masyarakat yang diminta hidup hemat dan profesional.
Celah Hukum dan Ketidaktegasan Regulasi
Memang, hingga kini belum ada regulasi yang secara eksplisit melarang wamen merangkap jabatan di BUMN. Namun, sejumlah aturan sebetulnya sudah memberikan isyarat akan bahaya praktik tersebut.
* UU No. 39 Tahun 2008 menyatakan wamen bukan pejabat struktural dan bukan ASN.
* PP No. 45 Tahun 2005 menyebut komisaris BUMN dilarang merangkap jabatan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
* UU Pelayanan Publik (2009) dan UU Administrasi Pemerintahan (2014) menekankan pentingnya profesionalitas dan efektivitas kerja, serta larangan terhadap benturan kepentingan.
Dengan demikian, walau tidak dilarang secara tekstual, praktik rangkap jabatan ini secara substansi bertentangan dengan prinsip etika pemerintahan dan tata kelola yang bersih.
Krisis Keteladanan Politik
Dari perspektif politik dan sosial, publik melihat praktik ini sebagai bagian dari pola “balas budi politik” atau distribusi jabatan demi kepentingan elite, bukan demi kepentingan negara. BUMN yang seharusnya menjadi ujung tombak kesejahteraan justru tampak dijadikan ladang kekuasaan dan keuntungan segelintir orang.
Ini menciptakan ketimpangan sosial: pejabat publik dengan dua jabatan dan dua gaji dari uang rakyat, sementara masyarakat umum diminta bekerja keras, profesional, dan berhemat. Kepercayaan publik terhadap pemerintah pun tergerus.
Saatnya Bertindak
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Pemerintah dan DPR harus mengambil langkah tegas. Revisi terhadap peraturan perundang-undangan dibutuhkan agar praktik rangkap jabatan memiliki batas yang jelas dan tegas.
Presiden pun diharapkan memberi teladan moral dengan tidak menunjuk pejabat yang rangkap jabatan, demi menjaga kredibilitas dan integritas pemerintahan. Lembaga seperti KPK dan Ombudsman juga perlu turun tangan, minimal melakukan kajian etik dan rekomendasi terhadap potensi konflik kepentingan yang terjadi.
Rangkap jabatan wakil menteri di BUMN bukan hanya soal hukum dan administrasi. Ini adalah ujian moral bagi negara dan para pemimpinnya. Pemerintah tidak boleh menunggu desakan publik yang terus membesar. Sudah saatnya memilih keberpihakan: pada elite atau pada etika dan keadilan publik.